Penulis : Edy Zaques
Penerbit : Kintamani
Tahun terbit : Cetakan pertama tahun 2009
Tebal buku : 200 halaman
Sinopsis Buku
Bob Sadino adalah wiraswastawan sukses di bidang agribisnis dan personal brand-nya sangat terkenal pada zaman Orde Baru. Jika dilihat dari riwayat hidupnya, Bob Sadino berasal dari keluarga kaya raya. Ia bisa menikmati pendidikan di bangku sekolah sekaligus sempat belajar di perguruan tinggi walau hanya beberapa bulan. Bob Sadino juga mendapat pekerjaan di Djakarta Llyod (McLain & Watson Coy) dengan gaji yang cukup besar. Dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan ekspedisi, Bob sempat tinggal di Hamburg dan Amsterdam selama kurang lebih 9 tahun. Pada masa puncak kejayaannya sebagai orang kaya, Bob berpikir untuk meninggalkan pekerjaannya tersebut. Ia merasa ingin menjadi orang miskin dan memulai segalanya dari nol.
Keputusan Bob Sadino ini pastinya ditentang oleh keluarganya. Meski demikian, Bob yang saat itu sudah berkeluarga tetap melanjutkan keinginannya. Bob memiliki alasan tersendiri mengapa ia ingin memiskinkan diri. Ia merasa bosan menjadi orang kaya. Selama ini ia sudah hidup berkecukupan. Terlebih posisinya sebagai anak buah di sebuah perusahaan. Jadi, ia dituntut untuk patuh pada atasan. Dengan keluar dari pekerjaan itulah ia dapat menikmati kebebasan tanpa harus menuruti semua perintah atasan.
Dari kehidupan yang serba berkecukupan hingga menjadi miskin adalah hal yang baru dalam hidup Bob. Bob harus berusaha keras mencari uang supaya ia dan keluarganya tetap bisa makan. Kakak-kakaknya sempat menawarinya bantuan dan rela memberikan apapun yang Bob inginkan. Namun, Bob menolak segala bentuk belas kasihan dari saudara-saudaranya. Ia yakin masih bisa mengatasi semuanya sendiri. “Satu-satunya bantuan yang bisa kalian lakukan adalah jangan bantu saya!”, ujar Bob secara tegas meyakinkan saudara-saudaranya.
Karena desakan kemiskinan, Bob tidak ada pilihan lain selain memulai wiraswasta untuk menyambung hidup. Saat itu, Bob melihat peluang pasar yaitu perbedaan telur ayam lokal dan telur ayam layer (negeri). Ia juga melihat peluang untuk menjual telur-telur tersebut kepada kaum ekspatriat yang tinggal di sekitar tempat tinggal Bob di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Akhirnya, Bob meminta bantuan salah seorang temannya di Belanda untuk mengiriminya anak-anak ayam petelur dan ayam broiler serta kumpulan majalah bertema serupa terbitan Belanda. Tanpa bekal ilmu sama sekali, Bob benar-benar memulai usahanya dari bawah. Bob juga mendapat kiriman majalah-majalah kejuruan terbitan Belanda untuk mempermudah dirinya dalam menekuni usaha tersebut.
Awalnya, Bob dan istrinya berjualan telur dari pintu ke pintu. Setelah mendapat pelanggan, mereka memanfaatkan garasi di rumah untuk berjualan telur. Lambat laun, usaha ini berkembang dengan brand Kemchicks yang berdiri selama 40 tahun. Bahkan, Kemchicks bekerjasama dengan Agung Sedayu Grup untuk membangun bisnis properti.
Wiraswasta adalah spontanitas
Bob selalu menyatakan bahwa ia melakukan segala sesuatu secara spontan. Terlebih lagi pada kondisinya yang miskin serta tidak bertitel sarjana. Rupanya Bob pernah beberapa bulan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan mengundurkan diri dari perkuliahan. Bob hanya melihat peluang ketika dirinya tidak memiliki pilihan lain selain wiraswasta. Terlebih lagi, Bob tidak memiliki rencana terlebih dahulu dalam menjalani usahanya. Semua dilakukan dengan bertindak cepat.
Pada suatu perbincangan, Bob menyatakan bahwa ia ingin berwiraswasta untuk mencari rugi. Bob menyadari bahwa dalam dunia wiraswasta pasti dipenuhi dengan risiko. Orang yang ingin terjun ke dalam dunia wiraswasta harus siap dengan berbagai macam risiko dan kegagalan. Tidak ada dalam sebuah usaha yang selamanya untung. Pasti ada kalanya merugi. Pernah pada suatu ketika Bob melihat peluang pasar di luar negeri yaitu olahan buah-buahan kripik buah. Ketika Bob mengekspor produknya ke luar neger, ternyata produknya tersebut tidak sampai di luar negeri dan menyebabkan dirinya merugi milyaran rupiah. Tapi, Bob menikmati semua proses usahanya dengan baik. Ia tetap berjalan pantang menyerah pada bisnisnya.
Kebanyakan orang membuat rencana untuk memulai bisnis wiraswasta untuk meminimalisir risiko sekecil mungkin. Namun yang terjadi adalah mereka terlalu sibuk membuat rencana dan tak kunjung melangkah untuk memulai usaha. Inilah yang disayangkan Bob ketika ada segelintir orang yang ingin berwiraswasta tapi masih takut dengan risiko dan kegagalan.
Bob mengakui bahwa dirinya memang mengambil keputusan secara jjnspontan. Terkadang ada suatu waktu yang memaksa dirinya untuk berpikir cepat dan segera mengambil tindakan tanpa berpikir ini itu. Semuanya berjalan mengalir sembari memikirkan rencana-rencana untuk perkembangan bisnisnya dan tanpa terasa Kemchicks sudah berdiri selama 40 tahun dan sukses mendapatkan kepercayaan pelanggan.
Salah seorang pernah menggugat pendapat Bob mengenai bisnis wiraswasta tanpa rencana. “Nggak mungkin dong kalau kita naik taksi tapi nggak tau kemana tujuan kita.”. Dengan enteng Bob menjawab, “Ya saya kan masih punya anak buah dalam mobil taksi yang bisa mengarahkan kemana tujuan kita.”.
Fase Belajar ala Bob Sadino
Bob Sadino membuat prinsip kehidupan berwiraswasta dengan sebutan Roda Bob Sadino. Roda ini dibagi menjadi empat bagian dengan masing-masing bagian secara urut berisi kuadran TAHU, BISA, AHLI, dan TERAMPIL. Masing-masing bagian dalam kuadran tersebut memiliki makna yang mewakili fase seseorang dalam mempelajari dan mengerjakan suatu ilmu.
Roda Bob Sadino.
Bagian pertama adalah kuadran TAHU. Kuadran TAHU berisi orang-orang yang sedang menempuh pendidikan baik di bangku sekolah atau perguruan tinggi. Orang-orang pada kuadran ini biasanya memiliki pemikiran yang terstruktur dan belajar berdasarkan teori-teori tanpa praktik. Contohnya adalah orang yang belajar teori dasar menembak. Ia tahu teori-teori menembak tanpa pernah memegang pistol.
Bagian kedua adalah kuadran BISA atau kadang disebut kuadran JALANAN. Kuadran ini berisi ora King-orang yang dapat mempraktikkan suatu ilmu dengan baik. Orang-orang dari kuadran BISA belajar dan pengalaman nyata yang sudah mereka alami dalam mengerjakan suatu hal. Orang-orang di kuadran BISA biasanya adalah masyarakat biasa yang tidak sempat menempuh Pendidikan tinggi. Contohnya adalah tukang bangunan yang dapat menyusun paving di jalanan.
Bagian ketiga adalah kuadran AHLI. Kuadran AHLI berisi orang-orang yang sudah berpengalaman di bidangnya. Mereka sudah ditempa dan belajar di kuadran BISA. Orang-orang yang berada di kuadran AHLI ini sudah dapat melakukan pekerjaannya secara professional.
Bagian terakhir adalah kuadran TERAMPIL. Kuadran ini diisi oleh orang-orang yang menekuni suatu bidang selama kurang lebih 30 sampai 40 tahun. Orang-orang dalam kuadran TERAMPIL sudah mencicipi banyak sekali kegagalan dari bidang yang selama ini ia tekuni.
Fase RBS akan terus bergulir ketika seseorang belajar hal baru. Akan banyak hal-hal baru yang bisa dieksplorasi oleh seseorang dengan fase belajar sesuai RBS. Namun, Bob tidak menyangkal bahwa tidak selamanya seseorang mengalami proses belajar sesuai dengan RBS.
Orang-orang terpelajar biasanya berada di kuadran TAHU. Tapi, orang-orang di kuadran TAHU ini kadang langsung loncat ke kuadran AHLI sehingga ia kurang terampil menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat. Contohnya adalah wakil-wakil rakyat saat ini yang didominasi oleh kalangan akademisi bukan wiraswasta. Mereka tidak pernah merasakan kuadran JALANAN jadi mereka tidak bisa mengerti bagaimana tindakan solutif bagi masyarakat.
“Masyarakat sudah susah karena kenaikan harga BBM. Bukannya melakukan tindakan nyata bagi masyarakat tapi pemerintah malah memberikan teori-teori akademis.” keluh Bob kesal. “Masak ‘bangsa tempe’ tidak bisa makan tempe?” tambahnya kemudian.
Bob juga menyatakan bahwa orang-orang yang berada di kuadran TAHU jika menempa dirinya di kuadran BISA, maka mereka bisa mengkombinasikan ilmu pengetahuan dari kuadran TAHU dan praktik lapang pada kuadran BISA dengan baik. Hal ini akan menghadirkan wiraswasta yang hebat. Bob sangat mendukung hadirnya wiraswasta baru dari golongan terpelajar agar ekonomi di Indonesia semakin membaik.